Rabu, 15 Juni 2011

MUTIARA KHATULISTIWA


MUTIARA KHATULISTIWA


Aku adalah aku yang menuliskan cerita bodoh ini.
Kau tak perlu tahu siapa aku. aku hanya ingin berbagi kisah dan mungkin juga dapat menjadi pelajaran untuk kamu yang sudah membaca cerita ini.
Percaya atau tidak percaya nya. Jemariku gemetar untuk menuliskan cerita ini.
Aku takut.
Aku malu.
Apa yang aku takutkan?
Mungkin tidak akan ada yang berani untuk membuka aib nya. Dan mungkin juga ada. Tapi tidak sebanyak mereka yang menutup aibnya.

Sebenarnya aku tidak berhak memponis diriku sendiri. Sebab aku juga belum mengetahui kebenaran itu. Tapi aku takut. Masih di hantui rasa takut. Semua nya aku rasakan keanehan dan perubahan drastis dalam diri ini. Apakah ini semuanya adalah sebuah tekanan atau memang nyata aku memang akan pergi mengambil sayap ku disurga?
Maafkan aku Tuhan.


***







SENJA…
Ada rasa yang tersembunyi.
Ada keinginan untuk memiliki.
Meski haram dan tak lazim namun tetap menikmati.


Sudah banyak luka dan noda bekas cinta yang ku rasakan. Tak jera dan ingin menikmati nya lagi.
lagi…
dan lagi…
Seperti terhipnotis. Sehingga berani untuk menyakiti dan siap tersakiti. Tak cukup satu, ingin lebih dan tetap serakah. Mencari dan terus mencari yang terbaik untuk di nikmati dan di cintai kemudian di tinggal kan.
Apakah esensi laki-laki dan laki-laki?
Apa yang dicari dalam hubungan seperti ini?
Bukan kah hanya kesengsaraan dan penderitaan yang didapatkan. Bukan kah sudah tahu sebab dan akibat dari ini semua. Kenapa masih saja tetap dijalani. Apa mungkin sudah ditakdirkan untuk mencintai makhluk sejenis?
Bukan aku yang meminta.
Ini takdir.
Apa takdir?!!
Manusia bisa merubah takdirnya. Tetapi takdir yang satu ini memang benar-benar nikmat sehingga mampu menikam mati.
Ada beberapa dari mereka mau mengakui bahwa mereka adalah kaum pecinta sejenis. Dan ada juga yang berusaha menutup-nutupi siapa mereka. Apakah lebih baik diketahui dari pada harus bersembunyi seperti itu. Tapi itulah manusia, mau menikmati tapi mempunyai rasa malu juga. BODOH!

Aku GAY!
Kamu tidak perlu tahu siapa nama ku.
Aku akan mencerita kan tentang kehidupan ku, dan sekarang aku sedang menunggu waktu nya tiba. Akibat dari perbuatan ku selama ini yang harus aku tanggung sendiri.
Aku menyukai makhluk yang sejenis dengan ku semenjak sekolah menengah pertama. Dan saat itu rasa ketertarikan ku terhadap lelaki sangat kuat sampai sekarang. Karena waktu itu aku dibesarkan sampai kelas tiga disalah satu asrama terbesar dikota ku. Dimana aku hidup dengan lingkungan yang dipenuhi kaum lelaki yang seusia dengan ku.
Mereka masih kecil, begitu juga aku.
Mereka masih ingin bersenang senang, dan aku juga.
Mereka masih mencari jati diri, sama seperti aku.
Bisa dibilang, masa remaja ku tidak lah sehat. Kenapa tidak sehat? Ya… karena aku memiliki keganjilan dalam kehidupan masa remaja. Coba fikir aja dari kecil sampai usia remaja, aku di didik keras oleh kedua orang tua ku. Biar menjadi sesosok lelaki yang mampu melindungi yang lemah.
Tapi…
Dan tapi…
Keganjilan ku timbul saat aku duduk dikelas dua sekolah menengah pertama. Sudah menjadi hal biasa aku melihat lelaki mandi tanpa sehelai benang. Sudah terbiasa aku melihat tubuh-tubuh mereka. Dan semuanya sudah terbiasa dan tanpa keanehan lagi.
Tapi yang satu ini beda.
Tidak menyalahkan, tapi kata-kata yang tepat aku tidak tahu. Mungkin aku hanya bisa bilang, gara-gara anak baru dikelas ku.
Kali pertama dia masuk kelas, dia sudah menatap ku tajam. Ada sesuatu yang tersembunyi dibalik tatapannya itu. Ada sesuatu yang ingin ku ketahui apa maksud tatapannya.
Dia duduk disamping ku, sangat kebetulan sekali aku duduk sendiri. Dia hanya membisu, begitu juga aku. dia menatap namun aku tak menatap nya. Aku menunggu dia berbicara terlebih dahulu baru aku akan bersuara. Dan sampai mata pelajaran selesai dia tetap membisu, begitu juga aku.
Tidak menanyakan nama.
Tidak berkenalan.
Tidak bersuara.
Tetap membisu.
Lonceng sekolah berdering seakan-akan berteriak, WAKTUNYA PULANG!!! Dia masih tetap membisu. Begitu dinginkah dia terhadap lingkungan baru nya. Apakah dia dilarang untuk bergaul dengan teman sebayanya. Arrgh’s… aku tidak mau ambil pusing.

Dia mengikuti ku sampai di depan pintu asrama.
“bulu mata mu indah sekali” dia bersuara, yang masih berdiri dibelakang ku. Ketika aku hendak masuk kedalam asrama.
“APA?!!” cetus ku kaget. Dan memutarkan badan kearahnya.
“ia, bulu mata kamu indah. Lentik” ucapnya lagi
“makasih” jawab ku dingin.
“asrama kamu disini?” ucapnya.
“ia” masih dingin.
“asrama ku disebalah sana” lanjutnya sambil menunjukan asrama yang dia maksud.
“aku masuk dulu ya” ucap ku yang masih dingin terhadapnya dan masuk kedalam asrama.

Setelah kejadian itu, aku pindah tempat duduk. Aku tersinggung oleh ucapannya. Maksudnya apa? Dan aku tidak mengerti sama sekali.
Tiga bulan lamanya aku masih tetap dingin dan tak ingin berbicara kepadanya. Aku mulai berbicara dan akrab dengan nya ketika dia pindah kamar didekat kamar ku.
“kamu marah sama aku? aku minta maaf atas kejadian tiga bulan yang lalu, aku tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya senang aja melihat bulu mata mu. Indah sekali, seperti bulu mata ayah ku. Dulu aku sering melihat bulu mata indah ayah ku ketika dia masih hidup, dan sekarang dia kembali ke bait Allah. Dan aku yakin dia disana sedang mengawasi ku” ucap nya memecah keheningan senja, ketika ku sedang menikmati panorama alam yang dapat aku lihat setiap harinya sendirian balkon atas.
“silahkan duduk” ucap ku dan menepuk halus bangku kosong disebalah ku.
“terima kasih” ucapnya, dan duduk disampingku. “namaku…” lanjutnya sambil mengulurkan tangan.
“aku sudah tahu nama mu, dan kamu juga sudah tahu nama ku. Kita tidak perlu berkenalan. Kita sudah hampir empat bulan sekelas.” Sergah ku yang masih tetap dingin.
“kamu suka melihat sunset?”
“ya…”
“aku dulu sering menikmati sunset di balkon rumah ku, ketika aku merindukan ayah”
“aku suka melihat sunset karena aku hanya ingin bersyukur atas ciptaan Tuhan yang sempurna”
“kamu hebat sekali”
“hebat?”
“ya… anak seusia kita sudah bisa memahami arti syukur dan nikmat Tuhan”
“karena anak seusia kita sudah dididik dari bangku sekolah dasar”
“ya…”
“aku juga demikian…”
“kenapa kamu memilih tinggal di asrama? Bukan kah kamu anak orang kaya?”
“emangnya anak orang kaya enggak boleh tinggal di asrama?”
“di asrama tidak enak, dan membosan kan”
“menurut ku, menyenangkan. Banyak teman dan setiap hari kita bisa bertemu dengan teman-teman. Bukan kah itu menyenangkan?”
“ya…”
“ya… apa?”
“ya begitulah…” jawabku gugup.
“kamu kenapa memilih tinggal di asrama?”
“aku hanya ingin bisa mandiri”
“oh… indah ya…”
“apa? Bulu mata ku lagi?”
“bukan, tapi warna langit yang sempurna. Orange kemerah-merahan membuat langit sore menjadi indah.”
“ya… itulah yang aku nikmati, warna-warna indah dan nyata ciptaan Nya”
Hanya warna-warna indah yang dikagumi…
Hanya satu warna saja tak cukup membuat hidup lebih indah…
Aku membutuhkan banyak warna…
Untuk menghiasi kekosongan kata-kata dalam kehidupan ku…


Waktu liburan telah tiba.
Semua anak-anak asrama sibuk mempersiapkan barang-barang keperluan mereka untuk pulang kerumah. Aku memilih menetap diasrama dan tidak ingin pulang kerumah. Aku hanya ingin menikmati masa liburan ku dengan kesendirian.  Lantas siapa yang akan aku kunjungi? Tidak ada sesiapa. Ibu ku entah dimana. Ayah ku juga begitu hilang tak berjejak, semenjak mereka memilih untuk berpisah semenjak aku duduk dikelas enam sekolah dasar. Dirumah aku hanya tinggal bersama nenek dan paman ku. Makanya aku lebih memilih untuk tetap tinggal di asrama.

Sudah hampir dua minggu dengan kesendirian. Tak ada teman cerita dan tak ada sesiapapun. Hanya sendiri saja kecuali penjaga asrama.
Balkon atas menjadi tempat favorit ku menikmati kesendirian.
Menikmati kerinduan yang tak pernah terjawabkan.
Menikmati hati yang sedang menangis.

Terdengar alunan nada biola yang merdu, sangat dekat dan semakin dekat. Jelas dan teramat jelas. Nada yang mampu mengiris hati yang lara. Nada yang mampu membuat hatiku miris. Siapa dia, bukan kah di asrama ini hanya aku saja. Penjaga asrama tidak mungkin ada disini, aku tahu betul jadual penjaga asrama untuk memeriksa asrama jam berapa.
Aku masih terbuai dalam alunan nada yang digesek di senar biola. Menikmati nya sambil meresapi angin senja yang menampar halus wajah ini.
“kamu sendirian? Tidak pulang kerumah?” ucap seseorang, yang tak asing suarannya ditelinga ku.
Perlahan aku menghapus buaian akan angin senja, dan menoleh kearah belakang secara perlahan.
“kamu, apa yang kamu lakukan disini? Bukan kah libur masih lama lagi?”
“aku tidak betah liburan dirumah saja. Lebih baik aku disini memainkan biola ku. Dan menikmati sunset yang indah dari atas balkon ini” timpalnya dan menghentikan menggesek biolanya. “kamu tidak pulang kerumah?” lanjutnya, kemudian duduk disamping ku sambil meletak perlahan biolanya diatas bangku.
“aku lebih senang disini. Disini lah rumah ku”
“oh…”
“alunan biola kamu merdu sekali. Aku sangat suka nada yang tadi kamu mainkan”
“terima kasih. Aku pulang kerumah hanya ingin mengambil biola ku. Karena kemaren aku lupa membawa nya”
“oh… begitu”
“ayo, ikut dengan ku…” ucapku, dan menarik tangan nya.
“tunggu sebentar, biola ku hampir tertinggal” cetusnya.

ada nada tentang aku dan kamu…
ada lantunan merdu yang akan diceritakan…

ditengah lapangan sekolah yang luas aku dan dia berdiri beruda. Menikmati luasnya jagat raya. Menikmati luasnya keindahan.
“mainkan” ucap ku.
“baiklah”
“lagu yang tadi” sergah ku semangat.

Gesekan memberikan nada yang indah. Hanya nada yang teduh mampu menyayat kegelisahan ini.
Duka…
Sudah berapa goresan yang kau gores dalam hati ini…
Perih…
Sudah berapa kali kau menyakiti rasa ini…
Tangis…
Sudah berapa banyak air mata yang aku geraikan…
Mengapa… mengapa kau lakukan ini?
Mengapa?
Mengapa harus meninggalkan dan ditinggalkan…
Aku merindukan mu kini…
Merindukan akan hadir mu kemabali…
Merindukan masa indah…
Kerinduan yang tak pernah terjawabkan oleh mu…
Kini, hanya sepi yang bersahabat dengan ku…
Sepi yang selalu menemaniku…
Sepi yang menjadi saksi kerinduan ini…

“kenapa menangis? Kenapa berhenti?” ucapku.
“sajak mu… menyatu dengan lagu yang aku mainkan”
“maafkan aku…” ucapku, dan berlari meninggalkan nya sendirian ditengah lapangan.
“MAU KEMANA KAMU!!” teriaknya.
Namun aku tak menjawab teriakan nya. Aku juga tak ingin menoleh kearahnya dengan deraian air mata.
Aku sakit…
Aku hancur…
Aku terluka…
Maafkan aku, aku butuh waktu untuk sendiri.


***

Malam menyelimuti kesejukan akan raga yang kosong.
Dahaga akan cahaya rembulan…
Merindu akan keindahan titik bintang yang berkilauan…

“kamu kenapa tadi sore? Meninggalkan aku sendirian ditengah lapangan?” ucapnya setelah melihatku keluar dari kamar mandi. “kamu lgi ada masalah ya? Cerita aja” lanjutnya.
“maaf aku tidak bisa” jawab ku, dan meninggalkan dia.
“ayolah… kita sudah begitu dekat, dan mungkin bisa dibilang kita adalah sahabat” ucapnya lagi dan menarik tangan ku.
Jarak ku dan dia begitu dekat.
Sangat dekat.
Aku terpaku…
Dia membisu…
Seperti ada sesuatu yang mendorong ku untuk menciumnya. Kepala ku seperti didorong perlahan. Tapi kenapa dia diam. Diam tak melawan. Seakan-akan pasrah dengan keadaan.
Tidak!
Tidak boleh!
Aku tidak bisa!
“maaf” ucap ku gugup. Dan bergegas meninggalkan dia, kemudian masuk kekamar.
Setelah menggunakan pakaian aku tidak ingin untuk keluar kamar. Malu dan sangat malu. Namun kenapa jantung ku berdetak lebih kencang. Darahku mendorong aliran hasrat sampai ke ubun-ubun. Seperti ada yang membisikan sesuatu “BODOH KAMU TIDAK MELAKUKAN NYA! KAMU CINTA KAN SAMA DIA!!” aku semakin tidak waras.
Dia mampu mencuri perhatian dan fikiran ku. Dia mampu menyulapku menjadi tenang disaat dekat dengan nya. Tapi ini tidak mungkin lelaki dan lelaki. Tidak esensi. Karena lelaki sudah serasih dengan perempuan. Ya… itu yang sangat tepat. Lelaki dan perempuan. Bukan lelaki dan lelaki.
Ke esokan harinya aku tidak mengunjungi senja dibalkon. Aku yakin dia pasti memainkan biolanya disana. Aku sedang tidak ingin berbicara dengan nya. Aku malu atas perlakuan ku terhadapnya. Setiap sore aku selalu mendengarkan dia memainkan biolanya diatas balkon.
“ikut dengan ku!” ucapnya, dan menarik paksa tang ku. Setengah menyeret. Aku mengikuti langkahnya yang sangat cepat sehingga tekatung-katung langkah ku dibuatnya.
“disini, disini lah keindahan yang sebenarnya! Keindahan yang selalu kau nikmati dengan kesendirian. Keindahan yang membuka mata hati ku untuk selalu bersyukur atas ciptaan Nya. Sekarang aku hadir dalam keidupan mu dengan tidak sengaja. Aku merasakan keindahan dalam kehidupan mu. Kau memberikan sesuatu yang sangat berarti yang tak bisa aku jelaskan, namun hanya bisa aku rasakan. Lihat senja itu menjadi saksi persahabat kita. Persahabatan yang berhaluan menjadi CINTA! Aku suka sama kamu! AKU CINTA KAMU!” lanjutnya sedikit berteriak.
“aku tidak mengerti maksud kamu apa!” timpal ku kebingungan.
“kamu bodoh atau memang benar-benar bodoh! Kamu belum juga bisa merasakannya, merasakan apa yang aku rasakan! AKU CINTA SAMA KAMU!” timpalnya dengan nada meninggi.
“tidak! Tidak bisa! Kamu lelaki dan aku lelaki! Ini tidak mungkin terjadi hubungan seperti ini!”
“apa yang tidak mungkin dalam kehidupan ini! Ini soal perasaan! Perasaan yang tak memungkin kan yang tidak menjadi iya. Jika dikasih dua pilihan. Maka aku tidak akan memiliki perasaan seperti ini! Entah kenapa saat aku mengenal mu dan dekat dengan mu. Kamu mampu memciptakan rasa bodoh ini!”
“bukan aku yang menciptakannya! Tapi kamu yang berlebihan menilai suatu perasaan! Ya… kamu sendiri yang menciptakan perasaan itu! BUKAN AKU!” bentak ku.
“cium aku!”
“apa!”
“ya… cium aku!”
“tidak!”
“aku hanya ingin meyakin kan perasaan ini salah!”
“itulah yang akan menguatkan perasaan mu”
“cium aku!” paksanya dan menarik tangan ku sehingga jarak kami terlalu dekat.
“tidak! Aku tidak bisa!” ucapku mendorongnya perlahan dan terduduk.
“KENAPA! BUKAN KAH KAMU MERASAKAN APA YANG AKU RASAKAN!” ucapnya meninggi.
“tidak!”
“iya! Kamu merasakan nya juga!”
“tidak! Aku tidak seperti kamu!”
“jangan pernah berbohong terhadap perasaan mu sendiri”
Kemudian kami terdiam, dan saling membisu. Berusaha mencari kebenaran dalam otak ku. Tapi kenapa dia begitu lekat dalam benak ini. Dia sekarang nyata dalam kehidupan ku. Sangat nyata. Apakah aku merasakan apa yang dia rasakan. Aku masih ragu dengan perasaan ini.
Senja ku kelabu…
Perlahan rintik gerimis membasahi kami…
Tak deras…
Namun menusuk kepori-pori sehingga menjadi sejuk…
Aku menggigil oleh ucapan ku…
Aku kedinginan oleh perlakuan ku…
Aku sudah salah akan perasaan ini…
Aku salah besar…
Maafkan aku…

Kami berdua masih membisu. Sehingga gerimis membasahi seluruh tubuh kami. Tampak wajah penyesalan yang terukir dari raut kami. Tampak kebodohan akan perlakuan kami.

Tapi…
tapi… dan tapi…
aku ingin melindungi dia dari serbuan gerimis. Aku ingin memeluknya memberi kehangatan. Bukan karena cinta tapi karena aku memang harus menjadi takdirnya.
Hanya bisa mengisyaratkan dan tak berani untuk mengungkapkan, lantas apa yang harus aku lakukan dengan perasaan yang terkurung mati ini. Apakah aku salah sudah membiarkan perasaan ini, atau malah sebalik nya aku sedang membunuh perasaan ku?
“aku memang mencintai mu!” ucapku dan berlari meninggalkan dia. sebab aku tak butuh jawaban darinya. Karena aku sudah mengetahui, bahwa kami saling mencintai.
Dia mengejarku, dan memeluk ku dari belakang. Dihiasi deraian hujan yang semakin deras. Kami sekamin basah. Kami semakin menggigil. Terasa kehangatan dalam pelukan. Pelukan yang menyatukan dua rasa yang berbeda namun satu kelamin.

***

Aku tidak pernah tahu perasaan yang sebenarnya, meski aku sudah mengatakan kepadanya akan isi hati ini. Lantas hari-hari kami tak lebih dari dekat. Tak terpisahkan sejengkal pun itu. Dua teman yang merubah haluan menjadi cinta. Cinta yang tak mungkin dapat diterima oleh nalar. Cinta yang tak pernah disahkan dimata Tuhan. Cinta yang menjadikan semuanya benar.
Dan terakhir kali aku melihatnya menangis, dan terakhir kalinya pula aku menatap matanya, menyentuhnya, dan memeluk nya diacara perpisahan sekolah. Aku kembali kerumah, begitu juga dia, dan mereka.
Sangat berat meninggalkan dan ditinggalkan…
Meninggalkan sederatan cerita yang berhalaman tebal…
Ditinggalkan akan sebuah harapan untuk tidak pergi…

Sangat cepat.
Cepat sekali waktu berputar.
Hampir lima tahun. Aku tak pernah mendengar kabarnya lagi. dia menghilang seperti awan yang diculik oleh angin.
Sekarang hanya sepi dan kerinduan ketika keterpurukan melanda. Apakah aku bersalah yang sudah meninggalkan dia. apakah dia benar, yang juga meninggalkan aku. semuanya sudah menjadi ketetapan untuk memilih yang memang harus dijalani.
Kerinduan ku tak pernah terjawabkan sampai detik ini.
Sungguh aku merindukan gesekan biolanya.
Tawanya.
Tangisnya.
Dan matanya yang membuatku terperangkap dalam cintanya.

“dan kamu masih mencari dia?” ucap risa memotong cerita ku.
“ia”
“sudah menghubungi dia? dan sudah kerumah dia?” tanya nya lagi.
“aku sudah berusaha menghubungi dia, tapi semua kontak tidak dapat dihubungi lagi. dan aku kerumah dia, kata tetangganya dia dan keluarganya sudah pindah keluar kota”
“susul aja, pindah kemana dia?”
“itu dia, aku enggak tahu”
“sabar aja, percaya deh. suatu saat nanti kamu akan ketemu sama dia”
“semoga saja”
Hanya harap…
Hanya kerinduan yang tak pernah terjawabkan…
“ris, aku harus kerumah singgah. Kasihan anak-anak yang udah nungguin aku”
“aku ikut kamu, aku juga kangen sama anak-anak”
“sebelum itu, kita beli makanan dulu”
“siipp…”

"BERSAMBUNG"